Friday, July 24, 2015

Dibawah bayang-bayang resesi ekonomi



Memasuki hari lebaran ditahun 2015 atau memasuki semeseter ke dua kondisi perekonomian Indonesia kembali menghadapi beberapa tantangan. Tantangan berupa adanya perlambatan ekonomi global dengan salah satu pemicunya terjadinya gagal bayar pemerintahan Yunani terhadap utang-utangnya (krisis ekonomi yunani). Nilai tukar rupiah yang terus menerus melemah serta inflasi yang semakin tinggi, IHSG Indeks Harga Saham Gabungan) yang melorot tajam dipicu aksi jual yang agresif oleh investor asing, dan menarik dananya dipasar modal kita.  Faktor-faktor tersebut akan memberi dampak buruk pada kondisi perekonomian kita dan tentunya akan membuat kondisi bisnis (usaha) kita tidak akan lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Ancaman ekonomi Indonesia untuk tertimpa atau dibayang-bayangi krisis ekonomi mulai sering diperbincangkan. Para pakar dan  pengamat ekonomi mulai memberi peringatan akan kondisi yang kurang baik ini. Pelaku bisnis berhati-hati dan mewaspadai gejala ini dengan segera mengambil langkah-langkah strategis terhadap faktor-faktor manajemen operasional, keuangan dan pemasaran kedepan agar masa depan usaha tetap bertahan.
Krisis ekonomi global

Berdasarkan data badan pengelolaan utang Yunani yang banyak dilansir media cetak tanah air menyebutkan bahwa pada Maret tahun ini saja beban utang negara itu mencapai 312,7 miliar euro atau sekitar Rp 4.600 triliun alias 174,7 persen di atas GDP. Walaupun Yunani adalah negara yang kecil konstribusinya 1-2% terhadap terhadap ekonomi Eropa, dan hampir sama sekali tidak ada nilai perdagangan negara kita dengan Yunani,  namun mempertimbangkan sejarah krisis tahun 2008 dampak dari krisis tersebut terhadap perekonomian bagi negara-negara Eropa tentu akan berdampak pula pada negara kita walaupun itu tidak secara langsung nantinya.

Perspektif ekonomi internasonal mengatakan per¬dagangan antar satu negara dengan negara lain saling berkaitan, misalnya melalui aliran barang dan jasa. Kita ketahui bahwa im¬por suatu negara merupakan ekspor bagi negara lain. Ini juga dapat berarti re¬sesi di satu negara akan menular dan mempengaruhi secara global, begitu juga penurunan impor di satu negara menyebabkan tertekannya ekspor di negara lain.

Saat ini hampir semua negara-negara di dunia men¬ganut sistem pasar bebas sehingga terkait satu sama lain. Aliran dana bebas keluar masuk dari satu negara ke negara lain dengan regulasi moneter tiap negara yang beragam. Akibatnya setiap negara memiliki risiko terkena dampak krisis bila di negara asing sana atau tetangganya sedang mengalami masalah. Begitu juga bagi Indonesia yang sangat terpengaruh dengan kondisi perekonomian global khususnya apa yang tejadi di Eropa sana.

IHSG dan pasar modal. 

IHSG walaupun awal tahun 2015 sempat menyentuh harga tertinggi dalam sejarahnya yakni 5500 dibulan april, namun saat ini IHSG melorot dikisaran 4.800 ini berarti dalam tiga bulan terakhir terjadi penurunan sekitar  12-13%. Penurunan ini di picu antara lain kekecewaaan investor terhadap hasil kinerja laporan keuangan perusahaan-perusahaan di Indonesia yang negatif pada kuartal 1 ditahun 2015, sehingga investor terutama asing mulai melakukan aksi jual yang cukup besar. Sektor perbankan dan sector komsumsi yang memberi efek negatif terbesar terhadap penurunan IHSG, karena hampir seluruh laporan emiten pada sektor itu adalah merah alias mengalami penurunan kinerja usaha. Kinerja pemerintahan Joko widodo dan Jusuf Kalla yang pada awal mulanya mendapat sentiment positif, tetapi memasuki triwulan ke dua ini mulai mendapat catatan negatif dan cenderung skeptis, karena tidak ada teroboson yang berarti pada sector ekonomi dan usaha, malah sebaliknya.  Dari data bursa efek Indonesia, tahun lalu sekitar Rp 48 Trilyun dana asing yang masuk di pasar modal, namun tahun ini telah mengalami penciutan sekitar Rp 14 trilyun sepanjang tahun ini. Penurunan modal asing ini juga disebabkan ada efek atas bankrutnya pemerintahan Yunani dan bursa regional Asia (Tiongkok) yang cenderung melemah. Melihat indikasi ini menjadikan pasar modal Indonesia tidak seksi lagi dimana investor terutama asing. Kondisi ini juga bisa menahan niat investasi asing untuk berekspansi dipasar kita.

Inflasi dan nilai tukar rupiah

Saat ini nilai tukar rupiah terhadap US dollar telah menembus angka Rp.13.300 per dollar. Ini berarti telah terjadi kenaikan  sekitar 15-20% bila mengacu kurs dollar terhadap rupiah pada satu tahun kebelakang (Juni 2014). Hal ini memberi informasi bahwa satu tahun ini terjadi kenaikan biaya operasional dan produksi perusahaan sekitar 15-20% bagi sektor-sektor industri yang basis usahanya menggunakan komponen-komponen impor dan penggunaan transaksi keuangan berdasarkan kurs dollar. Laba perusahaan akan tergerus dengan kestidak stabilan nilai tukar ini.
Begitu pula inflasi secara nasional pada bulan juni tahun ini adalah 0,66% sebagaimana dilansir oleh Bank Indonesia. Inflasi  dari bulan juni 2014 sampai juni 2015 tercatat diatas 7 %, hal ini mengindikasikan bahwa terjadi kenaikan harga barang rata-rata tujuh persen setahun ini. Inflasi akan melemahkan daya beli konsumen yang berarti juga akan mengurangi penjualan usaha kita.
Faktor inflasi dan kenaikan kurs rupiah terhadap dollar merupakan dua hal yang selalu akan mengakibatkan terciptanya kondisi ekonomi tinggi bagi pelaku usaha. Indikatornya berupa naiknya biaya produksi dan melemahnya daya beli konsumen/masyarakat. Biaya produksi yang semakin tinggi dan melemahnya daya beli konsumen (masyarakat) menjadi faktor-faktor yang harus di respon oleh pelaku usaha saat ini.

Sedia paying sebelum hujan

Sebagai pengambil kebijakan perusahaan ataukah sebagai pemilik bisnis tentu kita tidak ingin faktor-faktor eksternal tadi dan adanya potensi krisis ekonomi kedatangannya tentu akan menjadi ancaman bisnis kita. Lebih baik kita segera bersiap-siap dan melakukan antisipasi sebaik mungkin. Sedia payung sebelum hujan begitu kata pepatah.

Apa yang harus kita persiapkan? Bagaimana perusahaan kita menghadapi semua ini? Ada tiga fungsi manajemen yang perlu mendapat penekanan bagi pelaku usaha dalam kondisi saat ini. Hal itu adalah manajemen keuangan, pemasaran dan operasional.

Melihat kondisi ekonomi yang masih menunggu dan cenderung melambat, perhatian terhadap pengelolaan keuangan dan portofolionya perlu serius diperhatikan. Menjaga likuiditas perusahaan serta menjaga profitabilistas adalah tujuan utama manajemen keuangan perusahaan yang harus dicapai secara optimal.  Likuditas yang baik menjamin masalah kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansialnya yang harus dipenuhi. Aspek profitabilitas berkaitan dengan kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan, total aktiva, maupun modal sendiri. Ketidak mampuan menjaga likuiditas dan profitabilitas usaha dalam jangka panjang akan memberi kinerja yang buruk bagi perusahaan.

Pelaku usaha perlu berhati-hati dalam pengambilan keputusan investasi  dan tidak melakukan investasi dalam bentuk diversifikasi usaha yang sifatnya masih coba-coba dan kurang ditinjau dengan feasibility study yang akurat. Perusahaan tidak perlu tergiur dengan fasilitas kredit yang terus menerus ditawarkan oleh bank. Pelaku usaha perlu  melakukan take over kredit usaha untuk mencapai biaya bunga usaha yang lebih rendah dan fasilitas kredit yang lebih fleksibel. Adanya sumber-sumber pendanaan alternative yang fleksibel perlu segera dipertimbangkan.

Dalam perspektif manajemen pemasaran, harga produksi naik namun harga harus tetap kompetitif menjadi pemikiran utama bagi pelaku usaha saat ini.  Modifikasi produk tanpa menghilangkan atribut produk yang telah kita miliki seperti modifikasi kemasan yang rendah biaya produksinya dapat menjadi solusi. Strategi diferensiasi dengan membuat produk kita unik di mata konsumen, dan memiliki perbedaan dengan pesaing harus tetap kita lakukan dengan tetap berfokus produksi biaya murah. Lini produk kita  yang selama ini begitu banyak, harusnya dievaluasi kembali untuk menghadirkan varian produk yang betul-betul memberi keuntungan.

Strategi produk yang kita terapkan haruslah mendukung kebijakan efisensi operasional perusahaan. Naiknya biaya-biaya dari faktor produksi lainnya seperti biaya tenaga kerja dengan naiknya UMR (Upah Minimum Regional) harga BBM dan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang berasal dari kebijakan pemerintah mau tidak mau kita hadapi sebagai kenaikan biaya produksi yang akan mengancam pasar potensial kita bila harga produk/jasa kita naik.

Dalam bidang manajemen operasional isu utama adalah naiknya biaya produksi akan menaikkan pula anggaran produksi perusahaan. Pengusaha hendaknya mencari cara agar efisiensi perusahaan tetap terjaga. Faktor tenaga kerja merupakan salah satu biaya terbesar, perlu dipertimbangkan kembali untuk merekrut karyawan baru, atau dianggap perlu melakukan lay-off  karyawaan untuk mencapai efisiensi jangka panjang. Intinya tidak perlu ragu melakukan efisiensi perusahaan baik berbentuk penghematan biaya tenaga kerja,  anggaran pemasaran, biaya overhead, dan biaya-biaya lainnya yang dianggap bisa ditiadakan untuk penghematan perusahaan (penurunan biaya produksi).

Kebijakan perusahaan agar selalu efisien dengan memangkas biaya-biaya operasional, melakukan diferensiasi produk,  memperhatikan kembali sikap konsumen terhadap produk/jasa yang  ditawarkan karena perubahaan daya beli, serta menjaga kesehatan keuangan perusahaan merupakan faktor penting dalam menghadapi kelesuan ekonomi saat ini.



Penulis: A.M.Nur Bau Massepe
Dosen Fakultas Ekonomi & Bisnis UNHAS.
massepe@gmail.com
http://massepe.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment